musim semi sudah berganti dengan musim gugur. Dia berjalan sendiri, menyusuri jalanan sunyi yang penuh dengan tumpukan dedaunan kering kecoklatan. Dia berjalan dengan lemas tidak berdaya, hatinya sungguh luluh lantak, bukan karena di putusi atau di khianati pacarnya, tetapi karena ketidaklulusannya untuk masuk universitas yang ia dambakan, juga kekasihnya.

Selembar daun kering melayang-layang di depan matanya bagaikan kapas yang menari-nari dengan anggun. Dia menangkap daun tersebut, memperhatikannya dengan perasaan hampa. Daun itu semakin mengingatkan ia pada kekasihnya.


“Apa yang harus ku katakan padanya?” gumamnya lemah.



Dua tahun yang lalu, ia dan Gia (baca:Jia), kekasihnya berada di jalan itu, tepat disaat musim gugur mulai tiba. Selembar daun mulai gugur manari-nari di hadapan Gia. Gia menangkap daun tersebut dan memberikannya kepada Neil, dan berkata, “ini adalah daun pertama yang gugur, dan inilah mimpi pertamamu… di daun ini, semua mimpi-mimpimu tertulis. Aku ingin mimpi pertamamu adalah mimpi yang terbaik.” Neil tersenyum kecil sambil mengusap-usap kepala Gia dengan lembut.


“Aku sudah memilih,, kalau aku akan masuk di universitas yang sama denganmu nanti, Philadelpia university. Walaupun kita akan beda fakultas, aku tetap senang, asal selalu bersama kamu… Hmm… andai saja aku punya otak secerdas kamu,, pasti aku juga masuk fakultas kedokteran.” Lanjut Gia ceria.


“Untuk apa harus punya otak yang cerdas? Aku menyukaimu karena kebodohan dan kekonyolanmu…” sahut Neil lembut – jarinya menarik hidung mancung Gia dengan gemas.


“Janjilah kepadaku bahwa kau akan jadi dokter yang hebat, baik hati dan…”


“Selalu mencintaimu…” sela Neil menggoda.


“Hmm… boleh juga.”


“Baiklah…” mereka berdua mengaitkan jari kelingking mereka.


***


Neil memasukkan daun kering yang dipegangnya ke dalam saku jaketnya dan melanjutkan perjalanan.






Kini Neil telah sampai di rumah Gia. Kaki Neil seakan-akan tidak dapat menahan berat tubuhnya, dia sudah tak berdaya lagi melihat Gia, kekasih hatinya yang terbaring tak bernyawa di atas peti jenazah. Neil semakin tak kuasa saat Gia diberangkatkan untuk dimakamkan.


Disaat semua orang sudah meninggalkan makam Gia, Neil tetap disamping makam Gia. Air mata bening menetes dari mata Neil dan mengalir dengan lambat dipipinya. Dia sudah tidak tahan untuk menahan semuanya, semua yang telah terjadi padanya dan pada Gia.


“Maafkan aku Gia,, aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Aku tidak lulus ujian masuk kedokteran. Aku telah mengingkari janjiku padamu… Maafkan aku… Aku sangat terpukul dengan keadaan ini,, tapi aku lebih terpukul lagi disaat aku sedih, kau tidak bisa menemaniku, membujukku, menunjukkan kekonyolanmu untuk menghiburku. Kau juga mengingkari janjimu padaku,, kau bilang kau akan selalu bersamaku,, selalu mencintaiku,, selalu tersenyum tertawa untukku,, berusaha bernafas untukku. Tapi,, apa?? Kau melupakan semua janjimu padaku. Apa yang harus aku lakukan Gia?? Aku sangat mencintaimu,, aku..tidak dapat melepaskanmu pergi.” Air mata Neil mengalir semakin deras, suaranya terisak-isak.


“Kau bodoh… kau sangat bodoh… aku juga bodoh… karna terlalu mencintaimu,, sampai akhirnya aku tidak dapat melepaskanmu… Tapi dengan begini,, kau juga tidak akan tersiksa semakin lama. Tubuhmu semakin lemah,, badanmu semakin tidak dapat digerakkan. Kau juga tidak dapat berbicara dengan baik. Tapi demi aku, kau berusaha untuk tersenyum dan tertawa.”


Neil mengeluarkan daun kering dari saku jaketnya.


“Dua tahun yang lalu kau bilang padaku bahwa daun ini adalah daun pertama yang gugur, dan inilah mimpi pertamaku… di daun ini, semua mimpi-mimpiku tertulis. Dan kau ingin mimpi pertamaku adalah mimpi yang terbaik. Sebenarnya impianku hanya satu, yaitu ingin selalu bersamamu selamanya walau apa pun yang terjadi, karna kau adalah mimpi, sebuah mimpi yang indah. Aku juga berjanji padamu kalau aku akan selalu mencintaimu, aku akan selalu mencintaimu.” Neil meletakkan daun kering yang dipegangnya ke atas pusara Gia. Neil memeluk pusara Gia sambil terisak-isak dan menciumnya dengan lembut.


Neil meninggalkan semua impian dan cintanya di makam Gia. Dia tidak akan pernah memintanya kembali. Yang diinginkannya adalah agar Gia tetap mencintainya walaupun didunia sana sampai akhirnya mereka bertemu kembali.


Neil teringat kejadian setahun yang lalu disaat Gia dirawat inap di rumah sakit. Neil datang kekamar Gia dengan membawa setangkai bunga mawar putih kesukaan Gia


“Hai Gia Aurora…”


“Ternyata orang bodoh yang menyapaku ya??” sahut Gia ceria. Badannya terbaring lemah dipembaringan.


“Sudah seminggu kelas jadi sepi. Ngga ada yang bikin kekonyolan.” Goda Neil sambil memberi bunga mawar yang dipegangnya kepada Gia.


“Jahat…! Thanks,…” senyum lebar mengembang dibibir manisnya.


“Kamu masih sakit??” tanya Neil penasaran, – tangannya menggenggam tangan Gia dengan hangat.


Gia menggeleng lemah. Senyumannya memudar.


“Neil… ada yang ingin aku beritahu kepadamu. Ini penting.”


>“Apa itu Gia Aurora?” goda Neil.


“Aku serius…” desak Gia


“Baiklah…”


“Aku positif menderita ataksia, penyakit yang sangat mengerikan.” Desah Gia.


Rasanya jantung Neil tidak berdetak lagi mendengarkan ucapan kekasihnya.


“Semakin lama, aku tidak akan dapat bergerak lagi seperti dulu, tidak akan bisa berbicara seperti ini. Seluruh organ tubuhku akan mati walaupun aku masih hidup.”


“Tapi hatimu tidak akan pernah mati Gia…” desis Neal yakin. “Aku mencintai semua yang ada pada dirimu,, walaupun kamu tidak dapat bergerak, tidak dapat berbicara, tapi kita masih bisa saling mencintai. Aku masih bisa mendengarkan suara hatimu, aku masih bisa merasakan cintamu, dan aku masih dapat menyentuhmu.” Ujar Neil lembut.


“Tapi…”


“Gia Aurora,, kau bermaksud agar aku tidak mencintaimu lagi karna penyakitmu?? Kau salah Gia,, aku akan tetap mencintaimu.”


“Bukan karna janjimu kan Neil?”


“Bukan… tetapi karna keinginan hatiku agar aku tetap mencintaimu. Juga karna otakku yang hanya penuh dengan memorimu, sehingga aku terus memikirkanmu… Tidak akan ada yang bisa menghalangiku untuk mencintaimu, termasuk penyakitmu. Cintaku tulus, Gia… Yakinlah…” Neil mengusap-usap lembut kening Gia. Tangannya terus menggenggam tangan Gia.


Dua bulan kemudian Gia masuk rumah sakit lagi, penyakitnya semakin parah. Dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Neil duduk disamping pembaringannya dengan senyum tipis tergurat dibibirnya.


“Neil… apa kau yakin dengan cinta tulusmu itu?? Kau lihatkan aku sekarang hanya bisa berbaring,, aku tidak dapat bergerak, tidak dapat berjalan lagi… Apa dengan begini kau masih tetap mencintaiku??” tanya Gia pelan.


“Aku kan sudah bilang kalau aku akan tetap mencintaimu. Cintaku tulus, walaupun kau tidak bisa bergerak dan berbicara lagi.” Jawab Neil yakin – senyum lebar mengembang dibibirnya.


“Aku mencintaimu…”


“Aku juga…” Neil mencium tangan Gia dengan lembut.


Satu bulan berlalu, penyakit Gia tambah parah. Bicaranya terbata-bata, tidak ada satu pun organ tubuhnya yang dapat digerakkannya lagi, semuanya mati hanya hati dan jantungnya yang masih hidup.


Malam itu Gia tidak dapat memejamkan matanya, Neil menemaninya dengan setia di kamar.


“Tidurlah Gia Aurora!! Apa kau tidak mengantuk??” tanya Ichi lembut.


Gia menggeleng lemah.


“Neil… aku tidak bisa bersamamu masuk Philadelpia university,, maafkan aku… Aku sudah tidak mungkin lagi bertahan.”


“Sttt…” jari telunjuk Neil menyentuh bibir Gia, “jangan katakan itu!,, Gia kau mau kan janji padaku?” lanjutnya,,,


“Apa??”


“Janjilah padaku bahwa kau akan selalu bersamaku. Berjanjilah kalau kau akan selalu mencintaiku. Berjanjilah kalau kau akan selalu tersenyum dan tertawa untukku. Dan berjanjilah padaku bahwa kau akan terus bernafas untukku.”


Gia tertawa kecil yang dipaksakan.


“Kenapa kau tertawa Gia??” tanya Neil penasaran.


Gia tersenyum lebar, “baiklah,, aku berjanji akan selalu bersamamu, akan selalu mencintaimu, akan selalu tersenyum dan tertawa untukmu, dan akan terus bernafas untukmu Neil.” Jawab Gia terbata-bata.


“Terimakasih…” Neil menggenggam tangan Gia dengan kedua tangannya.


“Maukah kau menyanyikan nina bobo’ untukku Neil??” tanya Gia pelan.


“Baiklah putri tidurku...” jawab Neil menggoda.


Neil menyanyikan nina bobo’ dengan lembut sambil mengusap-usap kening Gia. Di sudut kedua mata Gia mengalir air mata. Dan tanpa dirasakan oleh Neil, dirinya juga menangis. Menangis karena bahagia bisa melihat senyuman Gia disaat Gia sedang menangis. Neil juga menangis karena takut, takut akan kehilangan Gia selamanya, walaupun itu akan terjadi cepat atau lambat.


Tidak ada cinta yang abadi didunia ini. Cinta pasti akan selalu pergi walau entah kapan dia akan meninggalkanmu. Dan jangan mengharapkan cinta itu akan terus bersamamu, tapi dia akan selalu berada di hatimu yang tulus. Kau tidak akan pernah menyadari akan kehadirannya, tetapi dia sadar akan dirimu. My love is gone, but my heart never go. <3

Sincerely by me, NurDianaFitrah ♥

Tiada ulasan:

 
Copyright © All Right Reserved by Nur Diana Fitrah.